Sunday, May 25, 2008

Cinta dan Nafsu

*copycat cisca yg seblomnya udh ngepost esainya hihihi*

Hampir setiap orang yang denger judul esai ini pasti merespon dengan tidak biasa alias luaarrr biasaa.. Don't judge a book by its cover.. Don't judge a writing by its title.. Baca dulu donk..

Esai ini sebenernya tugas sekolah yang diambil dari Novel Sintren.. Kalo bisa kasih komen ya ^^ soalnya gw blom pernah denger komentarnya dr org lain nie, selain dr guru bhs Indonesia-nya sendiri..

----------------------------------------------------------------------

CINTA DAN NAFSU

Cinta. Semua orang sudah tahu kalau cinta itu bukan sebatas cinta sepasang dua kekasih. Ya, cinta itu universal. Cinta bisa terhadap Tuhan, orangtua, saudara, sahabat, alam, hewan, tumbuhan, dan lainnya. Konon kata orang, mencintai dan dicintai itu sama-sama indahnya. Terkadang cinta itu bisa begitu nyata terlihat. Terkadang cinta bisa malu-malu. Ia hanya bersembunyi sehingga orang-orang tidak menyadari keberadaannya. Lalu, bagaimana dengan nafsu? Saat mendengar kata “nafsu” apa yang Anda pikirkan? Sebagian besar orang pasti langsung mengaitkannya dengan keinginan untuk memenuhi hasrat seksual. Kalau Anda berpikir bahwa definisi nafsu hanya sedangkal itu, Anda salah. Seperti halnya cinta, nafsu juga bersifat universal. Bisa nafsu terhadap uang alias matre, nafsu akan jabatan, nafsu makan yang besar, dan nafsu-nafsu duniawi lainnya. Anda pasti sering mendengar kalimat seperti ini, ”Makanya, jangan napsu!” Jadi, antara cinta dan nafsu adakah kaitannya? Banyak orang bilang cinta itu membutakan. Saking gelapnya karena buta, kita bisa tersesat sampai akhirnya kita berkenalan dengan nafsu. Punya kenalan baru, kenalan lama dilupakan. Buka kacang, lupa kulitnya. Sudah jadi nafsu, cinta dilupakan. Ya, itulah manusia.

Sekarang coba Anda ambil novel Sintren dan cermati kover depannya (kalau malas atau tidak bisa, juga tidak apa-apa). Jangan perhatikan judulnya, tetapi coba cemati ilustrasinya. Ilustrasi itu mencerminkan salah satu unsur cerita Sintren ini. Wajah Saraswati berada ditengah dikelilingi dengan wajah-wajah yang bertampang ”om-om genit”. Wanita normal pasti akan merasa ’jijik’ melihat ini dan tidak akan membiarkan dirinya dipandangi seperti itu. Saya tidak tahu bagaimana pikiran pria saat melihat ilustrasi ini karena saya bukan pria. Silakan tanyakan pada diri Anda sendiri jika Anda pria, atau tanyakan pada teman pria Anda jika Anda adalah seorang wanita yang ingin tahu.

Sintren Saraswati dikisahkan memiliki kecantikan yang tiada duanya. Bukan cuma laki-laki yang terpikat, wanita pun sampai iri dengan pesonanya. Pesona Saraswati ini membutakan mata dan hati para lelaki, bukan hanya yang jomblo dan belum menikah, tetapi juga laki-laki yang sudah beristri dan beranak (atau mungkin bercucu?). Nafsu mereka akan paras ayu Saraswati telah mengalahkan romantisme bersama pasangan hidupnya menjadi tidak berarti, tidak bernilai, bahkan mungkin dilupakan. Yang belum menikah ingin cepat-cepat melamar, yang sudah menikah ingin menceraikan istrinya supaya bisa melamar Saraswati. Ke mana akal sehat mereka? Rela melamar gadis yang jauh lebih muda dan meninggalkan anak istri, sekedar karena terpikat akan kecantikannya? Sangat tidak masuk akal di mata orang sehat.

Begitulah yang dikisahkan dalam Sintren. Suami-suami pergi meninggalkan keluarga mereka untuk melamar anak gadis orang. Wajar saja bila istri-istri mereka protes pada Mak Saraswati untuk segera menikahkan Saraswati, jadi suami mereka tidak perlu menjadi korban lagi. Begitulah nasib istri-istri itu. Mereka harus rela melihat suaminya meraung-raung, meneriakkan nama Saraswati sepanjang malam, dan tidak mengacuhkan keluarganya sedikit pun. Mereka pasti bertanya-tanya ke mana perginya laki-laki yang dicintainya? Bagaimana dengan janji untuk bersama dalam suka-duka, sehat-sakit? Cinta mereka telah dikalahkan oleh pesona Saraswati. Suami mereka sekarang bernafsu untuk menikahi Saraswati. Ada yang pasrah, protes, sampai bunuh diri. Bukan hanya dalam cerita Sintren, di realita kehidupan pun tidak sedikit orang seperti itu. Menceraikan pasangan hidupnya, lalu menikah dengan orang yang lebih muda. Hanya karena ia lebih cantik, mempunyai tubuh yang lebih ’aduhai’, karir yang sukses, dan macam-macam alasannya. Kalau begini kasusnya apakah pernikahan yang dimaksud diatasnamakan oleh cinta sejati atau oleh ’cinta-citaan’ yang mengatasnamakan nafsu?

Jika Anda pria, mungkin Anda merasa Saya tidak adil. Kenapa dari tadi hanya tentang laki-laki yang bernafsu? Baiklah, sekarang kita mulai dari tokoh Sintren yang wanita. Contohnya, Maknya Saraswati alias Surti. Surti di sini diceritakan sebagai wanita yang mencintai uang. Saking cintanya ia dengan uang, ia memaksa putrinya untuk menikah dengan anak juragan yang sudah ’om-om’. Walaupun ia tahu gelar sarjana adalah impian Saras, tetap saja ia bersikeras menikahkan mereka. Sama halnya dengan Maknya Wati. Dengan menanggalkan harga dirinya, ia memeras harta Juragan Wargo untuk menebus kematian ibunya. Bahkan, memaksa Kirman, anak Juragan Wargo, untuk melamar Wati. Seperti itulah kisah manusia yang jatuh cinta dengan uang. Dengan uang kita bisa membeli banyak hal. Begitu banyak kenikmatan duniawi yang dtawarkan oleh uang sehingga membuat kita bernafsu. Namun, bukan hanya wanita saja yang bisa matre, laki-laki juga bisa. Namanya juga manusia.

Zaman sekarang ini, mulai banyak orang yang meragukan keberadaan cinta sejati untuk sebuah pernikahan, tetapi tidak sedikit juga yang masih mendambakannya. Sulit menemukannya, tetapi tidak mustahil. Dari sekian banyak lelaki yang melamar Saras, tak ada satu pun yang bisa meluluhkan hatinya. Bagi Saras, tambatan hatinya hanyalah Sinur dan akan selalu Sinur seorang. Sinur juga menaruh hati pada Saras. Namun, terkadang ketika cinta akan berlabuh di pelabuhan hati, ada saja ombak atau badai yang menerjang sampai menenggelamkan kapal cinta. Sinur dan Saras terpisahkan oleh maut yang menjemput Sang Sintren. Bagi Sinur, Saras cukup menjadi Saraswati saja, tanpa embel-embel sintren. Cinta sejati sulit ditemukan, sulit juga ditinggalkan. Dalam hati Sinur masih dan selalu ada ruang untuk Saras. Ia rela menikah dengan wanita lain tanpa dasar cinta. Sinur hanya cinta dengan fisiknya saja yang mirip Saras.

Jadi, benarkah tidak diperlukan cinta sejati dalam sebuah pernikahan? Sekarang cinta sejati memang tidak selalu menjadi dambaan semua orang dalam sebuah pernikahan. Bagi mereka, cerita seperti itu hanya ada dalam dongeng antara Putri dan Pangeran. Idealisme sebuah cinta sejati di zaman sekarang menjadi tidak begitu penting. Asal ada uang, nikah pun jadi. Asal cantik, melamar gadis muda juga tak masalah. Mungkin begitu yang dipikirkan laki-laki yang terlewat terpesona pada Sintren. Asal bisa hidup mapan dan berkecukupan, sudah cukup dalam pernikahan. Tidak perlu ’cinta-cintaan’. Begitulah yang dipikirkan Mak Saraswati. Asal ia bisa merasakan hidup sebagai orang kaya, itu sudah lebih dari cukup. Zaman modern ini tampaknya sudah mengubah idealisme sebuah pernikahan. Tuntutan zaman menjadi lebih berat. Pernikahan antara dua insan manusia yang saling mencintai? Realitanya tidak selalu begitu. Banyak orang berpikir bahwa cinta tidak menjanjikan sebuah garansi hidup bahagia selamanya. Contohnya, Kartika yang karena ditinggalkan cinta, akhirnya mengakhiri hidupnya sendiri. Sinur juga. Ia harus rela melihat kepergian belahan hatinya.

Cinta datang dan pergi begitu saja seperti kupu-kupu terbang. Nafsu juga demikian. Ia datang dan menguasai pikiran manusia. Apapun kalau sudah nafsu, harus didapatkan. Cinta dan nafsu bisa berdiri sendiri. Cinta ya cinta. Nafsu ya nafsu. Namun, cinta dan nafsu juga memiliki sebuah ikatan semu. Nafsu seringkali mengaku sebagai cinta, sampai-sampai membuat orang buta. Buta sampai gila. Gila sampai mati. Yang tidak masuk akal, jadi masuk akal. Yang mustahil, jadi mungkin. Banyak orang dipermainkan oleh cinta sampai akhirnya bernafsu. Nafsu mempermainkan cinta. Manusia dipermainkan seperti boneka, seperti laki-laki yang terlewat terpesona pada Sintren Saraswati. Mereka tak lebih dari sekedar wayang. Padahal, setiap manusia dikaruniai akal budi, bukan boneka, apalagi binatang. Binatang hanya tahu makan dan bereproduksi. Manusia jelas bukanlah binatang. Jadi, sebagai ciptaan yang sempurna, jangan mau dipermainkan oleh cinta atau hawa nafsu! Tetapi, perlakukanlah cinta sebagaimana mestinya dan kendalikan hawa nafsu.

--------------------------------------------------

0 comments: